Rabu, 11 Januari 2012

MISTERY DI BALIK KISAH HARI RAYA IDUL ADHA

HARI raya Idul Adha bisa juga disebut hari raya ‘kurban’ atau hari raya ‘haji’ yang berlangsung setiap tanggal 10 Dzulhijjah merupakan hari raya besar kedua bagi umat Islam setelah Idul Fitri. Idul Adha tahun 1427 H ini diperkirakan bertepatan dengan tanggal 31 Desember 2006, pada hari itu seluruh kaum muslimin dan muslimat dimanapun berada akan menunaikan shalat Idul Adha yang digelar di masjid-masjid atau tanah lapang. Selain shalat dua rakaat secara berjamaah, kaum muslimin dianjurkan menyembelih hewan kurban yang dagingnya kemudian dibagikan kepada para dhu’afa dan masakin.
Sementara bagi kaum muslimin yang sedang menjalankan rukun Islam kelima yakni pergi haji ke tanah suci Makkah al Mukaramah, tanggal 9-10 Dzulhijjah menjadi hari yang sangat urgent. Sebab pada hari itu seluruh jamaah haji wajib ‘wukuf’ di padang Arafah sebagai syarat utama syahnya ibadah haji, sebelumnya tentu telah melaksanakan niat haji (ihram). Sekembali dari Arafah dalam perjalanan kembali menuju gurun Mina, para jamaah diharuskan mabith (menginap sebentar) di Muzdalifah, setelah itu mereka berduyun-duyun melakukan lontar Jumrah Aqabah di Mina (jamarat), kemudian dilanjutkan menuju Masjidil Haram guna melakukan Thawaf keliling Ka’bah dan Sa’i berjalan dari bukit Shafa menuju Marwah masing-masing tujuh kali putaran. Jika seluruh syarat wajib dan rukun telah dijalankan oleh para jamaah, maka usai sudah serangkaian prosesi itu diakhiri dengan ‘takhalul’ mencukur sebagian rambut sebagai pertanda telah sempurnanya rangkaian ibadah haji, barulah mereka menyandang gelar Hajja Mabruuran serta Hajja Mubarrak, amin.
Sungguh tiada tara makna yang dikandung dibalik perayaan Idul Adha ini, banyak hikmah yang dapat dipetik dari momentum tahunan itu. Pelajaran paling mendasar yang ditujukan bagi umat manusia adalah keteladan dan pengalaman para nabi sebagai utusan Allah SWT yang memberikan tuntunan dan ajaran sebegitu rupa.         ÂÂ
“Sesungguhnya, telah Kami berikan kepadamu sumber (yang berlimpah). Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya, orang yang membenci engkau, dialah yang akan terputus (dari harapan masa depan)” (QS: Al-Kautsar: 1-3).
Terdapat dua perintah yang terkandung dalam untaian ayat Al-Qur’an di atas, yakni perintah shalat dan kurban. Keduanya kembali memberikan segala berkat karunia Allah, hanya untuk Allah semata kita beribadah dan berterima kasih, begitu juga dalam berkurban. Nahr atau kurban menjadi simbol yang bermakna amat dalam; yakni daging sembelihan itu lalu diberikan kepada orang-orang miskin, sedangkan proses penyembelihan itu sendiri merupakan simbol pengorbanan diri seseorang. “Yang sampai kepada Allah bukan daging atau darahnya, melainkan yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu” (QS: AlHajj: 37).
Kisah Kurban
Peristiwa kurban yang telah terjadi ribuan tahun lalu, hingga saat ini oleh kaum muslimin masih dikenang sebagai tonggak sejarah yang tak akan dilupakan, bahkan peristiwa misteri itu seolah timbul kembali manakala Idul Adha datang. Sejarah kurban tak terlepas dari rangkaian kisah pengorbanan Nabi Ibrahim As akan puteranya yang terkasih, Ismail As. Di dalam Alquran dilukiskan sebagai Ibrah (pelajaran) yang sangat berharga bagi umat manusia. Dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim As bermimpi untuk menyembelih puteranya Ismail. “Ibrahim berkata: hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?…†(QS: Ash-Shaffat: 102).
Betapa galau dan bingungnya Nabi Ibrahim As saat itu akibat mimpinya, situasi sulit benar-benar dirasakan sebab pilihannya harus menyembelih anaknya sendiri. Tentu saja sebagai seorang ayah yang menyayangi anaknya, perintah itu cukup berat dilaksanakan. Anak adalah tumpuan kasih sayang, bahkan Alquran menyebutnya sebagai Ziinatu Al-Hayaati Ad-dunya (perhiasan kehidupan dunia bagi orang tuanya, (lihat QS: Akahfi: 46). Sebaliknya, di sisi lain Nabi Ibrahim AS adalah seorang Rasul yang berkewajiban menyampaikan (Tabligh) dan sekaligus melaksanakan perintah Allah SWT. Sekalipun merasa sangat berat namun akhirnya Nabi Ibrahim menyampaikan mimpi itu kepada anaknya dan Ismail pun berkata: Yaa Abati If’al Ma Tu’mar. Hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar†(QS: Ash-Shaffat: 102).
Selanjutnya apa yang terjadi? Diceritakan bahwa disaat pisau Nabi Ibrahim AS hampir sampai ditenggorokan Ismail, para malaikat berteriak: ya Allah leher itu… ya Allah leher itu… lalu mereka semua bersujud kepada Allah karena tidak kuasa menyaksikan prosesi penyembelihan itu, maka Allah dengan bangga berseru kepada mereka: “Perhatikanlah hai para malaikat-Ku, bagaimana seorang hambak-Ku Ibrahim dan Ismail mentaati perintah-Ku karena semata-mata mengharap ridha-Ku dan seandainya seluruh malaikat-Ku membawa leher-leher mereka maka tidak akan dapat menyamai dan menebus leher Ismailâ€Â. Kemudian Allah memberikan pertolongan kepada keduanya dengan mengganti sembelihan itu dengan seekor kibas, sebagaimana firman-Nya: “Lalu Kami tebus anak itu (Ismail) dengan seekor sembelihan yang besar (seekor domba/kibas)†(QS Ash-Shaffat: 107).
Kebahagiaan yang tiada tara tercurah di wajah mereka berdua, betapa keduanya telah mampu melaksanakan perintah Allah dengan penuh keimanan kepada-Nya. Pujian atas ketaatan Nabi Ibrahim diberikan Allah: “Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik†(QS Ash-Shaffat: 105). Lantas Allah pun merestuinya: “Salaamun ‘alaa Ibrahim†(Yaitu) kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim†(QS: Ash-Shaffat: 110).
Banyak hikmah yang bisa dipetik dibalik kisah kurban nabi Ibrahim dan putranya Ismail As, sedikitnya tiga hikmah dapat dijadikan pegangan yakni, kesabaran, kejujuran, dan ketaatan kepada sang pencipta Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. (QS Al-Baqarah: 103). Begitu pula, Allah memuji kejujuran Nabi Ibrahim As dengan menyatakan: “Qod Shoddakta Ar-Ru’yaa.†Tentang ketaatannya Allah berfirman: “Walladziina Amanu Asyaddu Hubban Lillahi†(orang-orang yang beriman itu lebih tinggi cintanya kepada Allah, QS Al-Baqarah: 165).
Dalam pandangan lain, jika pengikut tiga agama samawi yang dibawa Nabi Muhammad (Islam), Nabi Musa (Yahudi), dan Nabi Isa (Nasrani) menekankan titik pertemuannya sebagai cucu “Bapak Monoteisme” Nabi Ibrahim, maka faktor agama dalam masyarakat akan berdampak positif sebagai kekuatan daya penyatu (sentripetal). Akan tetapi sebaliknya, jika yang ditekankan adalah unsur perbedaan, maka agama akan berdampak negatif sebagai kekuatan daya pemecah (sentrifugal).
Selain itu, semestinya kita mengingatkan kepada seluruh umat beragama tentang pentingnya upacara kurban (sacrifice) yang dikenal dalam setiap ajaran agama, termasuk ibadah kurban dalam Islam. Selain untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, pemotongan hewan kurban juga untuk mendidik jiwa agar tidak egois. Karena itu, untuk menampilkan kekuatan dari berbagai agama, diperlukan saling pengertian mendalam antara para penganut agama.
Mekkah :D